Menatap Senja, Menunggu yang Tak Pasti Datang
Menatap Senja, Menunggu yang Tak Pasti Datang

Menatap Senja, Menunggu yang Tak Pasti Datang

Diposting pada

Hai, kamu yang sedang membaca ini, apa kabar hari ini? Aku di sini, lagi-lagi duduk di teras rumah, menyeruput teh hangat sambil menatap senja yang perlahan berubah warna. Ada yang bilang senja itu romantis, tapi bagiku, ia justru jadi saksi bisu betapa lamanya waktu bergerak ketika kita menunggu sesuatu… atau seseorang.

Angin sore berhembus pelan, seolah ikut menghela napas. Aku tersenyum sendiri, membayangkan mungkin langit juga punya cerita sendiri tentang penantian. Kalau saja awan bisa bicara, apa ya kira-kira yang akan mereka katakan? “Hey, sudah sore. Pulanglah, dia tak pasti datang.” Tapi kita tetap menunggu, kan? Karena rindu itu nggak pernah kenal logika.

Yuk, kita telusuri bersama bagaimana senja dan rasa rindu bisa jadi teman setia dalam kesendirian.

Menatap Senja, Menunggu yang Tak Pasti Datang

Langit merah menguap lelah,
Angin berbisik di ujung hari.
Kursi kosong masih setia menunggu,
Seperti aku, tanpa janji pasti.

Awan hitam menulis surat,
Dibaca waktu, lalu hilang.
Jam dinding tertawa pelan,
“Kau masih di sini? Sudah senja lagi.”

Daun kering berguling lari,
Menghindari bayang sendiri.
Tapi aku? Kaki ini beku,
Akarnya tumbuh di tempat menunggu.

Pelabuhan sunyi, kapal tak singgah,
Laut hanya diam, tak mau jawab.
Biru tua jadi saksi bisu,
Hanya omong kosong dan debur rindu.

Lampu jalan kedip-kedip,
Mencoba menghibur malam.
Tapi redupnya tak cukup terang,
Untuk menerangi yang tak datang.

Buku di meja terbuka halaman,
Tapi kata-katanya berantakan.
Seperti hati yang kacau balau,
Mencari arti di antara mau.

Pohon jati menunduk sayu,
Daunnya jatuh satu-satu.
“Kau tunggu apa?” tanya mereka.
Aku tak tahu. Aku hanya terdiam.

Jalanan basah hujan tadi,
Tapi jejakmu tak ada lagi.
Bahkan genangan air pun tahu,
Kau takkan kembali. Aku tetap menunggu.

Burung-burung pulang ke sarang,
Langit menutup mata perlahan.
Tapi pintu ini tetap terbuka,
Meski yang dinanti takkan tiba.

Malam datang bawa dingin,
Selimut tak cukup hangatkan.
Karena rindu itu api palsu,
Membakar, tapi tak pernah cukup.

Bintang-bintang berkedip curang,
Seolah kau ada di balik cahaya.
Tapi pagi datang lagi,
Dan senja ulangi cerita.

Meja makan masih berdua,
Garpu dan sendok bicara.
“Kapan terakhir dia duduk di sini?”
Mereka bertanya. Aku tak ingat lagi.

Telepon diam-diam saja,
Layarnya gelap, tak ada notif.
Seperti hatimu yang entah di mana,
Tak ada kabar. Tak ada tanda.

Kaca jendela berembun sendiri,
Menulis namamu lalu pudar.
Aku hapus lagi, tapi besok,
Aku ulangi lagi. Bodoh, kan?

Senja pergi, malam menang,
Tapi aku masih di teras ini.
Menunggu yang tak pernah janji,
Karena rindu tak butuh alasan.

Makna Puisi: Menatap Senja, Menunggu yang Tak Pasti Datang

Puisi ini bercerita tentang penantian yang nggak ada ujungnya, kayak nunggu seseorang yang entah bakal datang atau nggak. Aku pakai alam dan benda mati (senja, kursi kosong, jam dinding, burung) buat jadi “teman” yang ngertiin perasaan si penunggu. Mereka diam-diam jadi saksi betapa beratnya nunggu sesuatu yang nggak pasti.

Contohnya di bait “Lampu jalan kedip-kedip, mencoba menghibur malam”, itu metafora buat usaha kita buat tetap sabar, meski sebenernya hati udah lelah. Atau di bait “Buku di meja terbuka halaman, tapi kata-katanya berantakan”, yang artinya pikiran kita kacau karena terlalu lama nunggu.

Puisi ini juga banyak pake personifikasi (benda mati kayak punya perasaan) dan repetisi (pengulangan kata “nunggu”, “senja”) biar kesannya kayak lingkaran, nggak berujung, sama kayak penantiannya.

Intinya? Nunggu itu kadang sakit, tapi kita tetep aja melakukannya. Karena rindu nggak pernah logis. Kayak senja yang selalu pulang, meski kita nggak mau dia pergi.

Kamu yang mungkin lagi ngerasain hal sama, nggak apa-apa kok kalau hari ini lelah. Nunggu itu melelahkan, apalagi kalau nggak ada kepastian. Tapi inget, kamu nggak sendirian. Senja aja setiap hari pulang, tapi dia selalu balik lagi besok.

Nasihat kecil dari aku:

  1. Jangan lupa bernapas. Kadang kita terlalu fokus nunggu, sampe lupa hidup.
  2. Beri batas waktu. Rindu boleh, tapi jangan sampe ngerusak diri sendiri.
  3. Cari temen cerita. Kayak puisi ini, alam selalu ada buat dengerin.

Dan kalau senja besok datang lagi, coba tersenyum. Siapa tahu di balik awan, ada jawaban yang nggak kita duga.

“Kamu boleh menunggu, tapi jangan lupa untuk tetap hidup.”

Yuk, kalau kamu suka puisi senja yang penuh rindu dan makna, jangan berhenti di Senja dalam Kata! 🌅 Masih banyak puisi senja lainnya yang bisa bikin hati kamu makin hangat atau malah makin galau. Siapa tahu kamu nemu bait yang pas banget sama perasaanmu hari ini! 💫