Pernah nggak sih, kamu ngerasa ada sesuatu yang belum kelar? Seperti ada kata-kata yang mentok di tenggorokan, atau pelukan yang kepotong sebelum sempat erat. Senja terakhir ini adalah tentang momen-momen itu, ketika waktu nggak kasih kita kesempatan buat bilang “dadah”, ketika orang yang paling berarti tiba-tiba jadi bayangan di balik pintu kereta yang udah menjauh. Puisi “Senja Terakhir di Pelupuk Mata” lahir dari rasa itu: kepergian yang nggak selesai, pertanyaan yang nggak kejawab, dan senja yang mengering di mata sebelum sempat kita artikan. Aku nulis ini buat mengabadikan perasaan yang seringkali cuma bisa diungkapin lewat diam. Yuk, mari kita telusuri bareng…
Senja Terakhir di Pelupuk Mata
Kau datang sebagai senja yang singkat,
menyisakan warna di ujung pelupuk mataku.
Aku ingin bertanya—tapi langit sudah gelap,
dan jawabanmu hilang dalam diam yang panjang.
Kita seperti dua bayangan di tepi pantai,
disapu ombak sebelum sempat bersentuh.
Kau pergi dengan debur yang tak kudengar,
aku jadi pasir yang menunggu jadi kaca.
Ada nama yang kutulis di atas air,
ada rindu yang kubungkus dalam laut.
Tapi kau adalah ombak yang tak pernah setia,
membawa semuanya pergi tanpa sisa.
Matahari terakhir itu jatuh pelan,
seperti boneka kaca dari genggamanku.
Kau memecahkannya tanpa suara,
dan aku mengutuk senja karena terlalu indah.
Aku belajar bahasa angin untuk memanggilmu,
tapi kau sudah jadi arah yang berbeda.
Kini aku duduk di antara debu jalanan,
menghitung langkah yang tak pernah kita ambil.
Kau adalah senja yang merapuh sebelum kupegang,
kabur di antara jari-jari yang terlalu lelah.
Aku jadi anak kecil yang mengejar bayangan sendiri,
tersandung waktu yang tak pernah adil.
Ada surat yang kubakar di sela doa,
ada nama yang kuhapus dari dinding jantungku.
Tapi kenapa asapnya masih membentuk wajahmu?
Kenapa rindunya lebih bandel dari debu?
Kita seperti dua kereta dalam lukisan,
selalu terlihat hampir bersimpangan.
Tapi kanvas ini terlalu sempit untuk pertemuan,
dan pelukisnya sudah kehabisan warna.
Aku ingin marah pada langit yang membiarkanmu pergi,
tapi langit hanya menunjuk pada bulan yang pucat.
“Lihat,” bisiknya, “dia juga ditinggal matahari,
tapi tetap bersinar dengan caranya sendiri.”
Malam datang membawa katalog kesalahan:
seharusnya aku lebih keras memeluk,
seharusnya kau lebih lama bertahan,
seharusnya kita bukan “hampir” tapi “sudah”.
Kini aku mengerti mengapa laut tak pernah marah,
meski ombak selalu kabur ke pantai lain.
Karena kehilangan adalah cara air mengingat,
dan perpisahan adalah bentuk cinta yang lain.
Aku menulis puisi ini dengan tinta yang pudar,
di kertas yang sudah basah oleh hujan kemarin.
Mungkin besok akan luntur semua,
tapi malam ini, ia cukup kuat untuk menahan rindu.
Kita seperti dua kota dalam peta usang,
terhubung oleh jalan yang sudah ditutup.
Aku bisa mencarimu—tapi apa artinya?
Ketika jembatan antara kita adalah waktu yang salah.
Senja terakhir itu kini jadi museum,
tempat aku menyimpan semua “hampir” kita.
Tiket masuknya adalah luka yang tak mau sembuh,
dan hadiah di akhir tur adalah pelajaran.
Dan bila nanti ada yang bertanya,
“Kenapa kau menatap senja begitu lama?”
Aku akan jawab: “Aku sedang belajar
cara mengatakan selamat tinggal tanpa suara.”
Puisi ini tuh kayak curhat soal perpisahan yang nggak kelar-kelar, kayak orang yang tiba-tiba ghosting, hubungan yang putus di tengah jalan, atau perasaan yang mentok di tenggorokan gak bisa diungkapin. Senja di sini tuh ibarat momen indah yang cuma numpang lewat sebentar doang, kayak orang spesial yang cuma jadi cameo di hidup kita. Pelupuk mata tuh garis batas tipis antara liat dan nggak liat lagi, persis kayak pas kita nahan-nahan melek biar air mata gak keluar.
Puisi ini penuh banget dengan cerita “hampir” yang gagal total: hampir ketemu, hampir ngomong “gue sayang sama kamu”, hampir lanjutin hubungan – tapi ujung-ujungnya mentok di tengah jalan. Yang paling sakit tuh perasaan nggak dapet closure, kayak diputusin tapi nggak dikasih alasan yang jelas, atau ditinggal pergi tanpa kabar. Tapi di akhir cerita, ada pelajaran berharga: ternyata nggak semua orang emang ditakdirin buat stay, dan beberapa perpisahan tuh emang lebih bermakna kalau dibiarin menggantung aja.
Contohnya tuh kayak bait yang bilang “Kau adalah senja yang merapuh sebelum kupegang” – tuh gambaran banget buat yang pernah PDKT terus tiba-tiba diputusin. Atau bait “perpisahan adalah bentuk cinta yang lain” yang ngajarin kita buat ikhlas melepas orang yang kita sayang biar dia bisa lebih bahagia. Terus yang paling dalem tuh bait terakhir yang ngajarin cara “bilang selamat tinggal tanpa suara” – alias ngerelain mantan yang udah move on, tanpa perlu drama.
Intinya sih, puisi ini tuh kayak temen yang ngasih pelukan pas kita lagi sakit hati karena ditinggal tanpa penjelasan. Ngingetin kita bahwa nggak semua perpisahan perlu diucapkan buat jadi bermakna, dan nggak semua orang yang pergi itu pantas ditangisin. Kadang, senja terakhir di pelupuk mata tuh justru jadi awal buat kita bisa move on dan nemuin cerita baru.
“Gak semua goodbye perlu diucapkan, tapi semua perpisahan pasti ninggalin pelajaran – yang penting kamu bisa belajar dan tetep move on.”
Jadi, gengs, senja terakhir ini mungkin udah pergi, tapi bukan berarti cerita kita selesai. Justru di sini kita belajar satu hal: nggak semua perpisahan butuh kata-kata buat jadi berarti. Kadang, diam aja udah cukup.
Yang penting, jangan berhenti di sini. Masih ada pagi menunggu, masih ada cerita baru yang bisa lo tulis. “Luka boleh ada, tapi jangan biarin dia jadi penghalang buat bahagia.”
Sekarang, tarik napas dalem-dalem… dan lanjutkan.
Kalo puisi ini bikin kamy keingetan seseorang, mungkin itu tandanya kamu udah siap buat let go. You got this!
Baca Puisi Senja Itu lainnya: Senja datang, Senja hilang, dan Senja rindu